Suku Hadza- Life Is Freedom

December 8, 2009

SUKU HADZA-Tanzania


Hadza Tribe

National Geographic

“Mereka tidak bercocok tanam, tidak memelihara ternak, dan hidup tanpa hukum ataupun kalender. Mereka hidup dengan cara berburu dan meramu. Kehidupan seperti itu hanya sedikit berubah dibandingkan 10.000 tahun silam. Lalu, apa yang mereka ketahui yang telah kita lupakan kini?”-

Martin Schoeller

Itulah kata – kata seorang Photographer dari National Geographic saat dia mendatangi dan mengamati kehidupan suku Hadza.

Suku Hadza adalah suku yang hidup disalah satu dataran Tanzania – Afrika. Setelah saya membaca kehidupan suku Hadza, merekalah kaum yang memang merdeka. Mereka tidak disibukkan dengan pekerjaan, bayar pajak, ritual keagamaan, dan lain – lain. Saat mereka lapar, mereka mencari makanan Babun ke hutan dan membakarnya. Selain itu mereka juga adalah orang – orang yang tidak diperbudak dengan uang. Transaksi mereka masih menggunakan sistem barter dengan suku lain, biasanya mereka barter dengan suku Datoga. Mereka tidak mengenal dollar atau mata uang lainnya.

Sejenak saya berpikir bahwa saya iri dengan mereka karena mereka benar – benar merdeka, mereka tidak harus meminta maaf saat mereka kentut atau berdahak. Dan mereka tidak harus menangis saat mereka kehilangan orang – orang tercintanya. Namun, sayangnya mereka tidak dapat merawat diri mereka. Sehingga nilai kematian lebih besar dari pada kelahiran, dan lagi – lagi, tidak ada yang peduli akan hal itu. Mereka hanya jalani hidup apa adanya, dan mensyukuri apa yang ada.

Suku Hadza tidak tinggal di perumahan, melainkan di jerami yang mereka buat sendiri. Selaini itu, yang menarik dari suku Hadza, mereka tidak mengenal waktu baik detik, menit, jam, hari, minggu ataupun tahun. Sehingga sewaktu photographer dari NG membuat janji dengan salah satu suku Hadza, mereka berpatokan pada Bulan. Dan satu kalimat yang membuat saya tersenyum, yaitu saat photographer NG bertanya, “apakah anda sudah lama menunggu?”.  “Tidak, hanya beberapa hari” jawab bocah itu ( yang memang diperintahkan ayahnya untuk menemui photographer dibawah pohon tertinggi di sana).

Satu kesimpulan yang saya dapatkan, menguasai dunia tidak berarti dapat menikmati hidup. Kadang menjadi kaum termarginalkan lebih indah dibandingkan dengan kaum mayoritas.

Brand Tidak Ada Gunanya Tanpa Karakter

December 4, 2009

Setelah Saya membaca artikel di kompas mengenai New Wave Marketing yang ditulis oleh Suhu Hermawan Kartajaya dengan Topic Brand Tidak Ada Gunanya Tanpa Karakter, entah kenapa saya langsung teringat dengan nasib dunia pariwisata Indonesia.Tanpa dipungkiri dunia Pariwisata

salah satu elemen pendukung Pariwisata, keep secure Heritage..

bisa booming jika publikasi dan promosi yang dilakukan adalah cerdas. Mungkin dalam hal ini  saya mencontohkan pariwisata Malaisya, yang ternyata bisa mendatangkan 20 juta Wisman ( Wisatawan Manca Negara ), padahal elemen – elemen pariwisata yang dimiliki tidaklah jauh dari Indonesia. Malah, ada yang mengatakan bahwa Indonesia memiliki elemen Pariwisata yang jauh lebih good dari Malaisya. Tapi sangat Ironi, Indonesia mempunyai jumlah wisatawan yang jauh lebih rendah dari Malaisya. Untuk tahun 2009, Indonesia hanya mampu menargetkan 6,5 juta Wisman yang datang ke Indonesia. Itulah yang dilakukan Malaisya, dengan Brandingnya Truly Asia dan karakternya sebagai negara yang aman.

How about branding and character Indonesia Tourism??

Dari perspevtive saya, Indonesia dengan brandingnya  ULTIMATE in DIVERSITY belum mampu membangun karakter yang kuat. Karena masih banyak unsur – unsur pendukung karakter Pariwisata Indonesia yang belum dibangun dengan optimal. Misal karakter dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Memang secara tersurat Indonesia menjadi negara Ter-Ramah, dengan tingkatan 85% penduduk Indonesia hobby senyum. Namun dilain sisi, berita – berita di Indonesia banyak yang menggambarkan bahwa penduduk Indonesia adalah penduduk yang primitif, konservatif dan kanibal. Hal ini tentu menjadi karakteristik Indonesia, tapi karakter yang negatif. Belum lagi dengan pemberitaan mengenai Teroris, hal ini akan membuat orang – orang diluar sana menjadi ngeri untuk datang ke Indonesia.

Solusinya ( masih tetap dalam perspective saya ), pembangunan karakteristik pariwisata Indonesia haruslah dilakukan dengan massive, antara pemerintah, corporate dan masyarakat itu sendiri. Sosialisasikan branding yang ada, sehingga secara psikologi masyarakat Indonesia dapat bercermin. Selain itu pembangunan karakter pariwisata juga tidak boleh jauh dari branding yang telah diciptakan.

Selain itu juga Indonesia harus melakukan promosi dan publikasi yang cerdas terhadap Pariwisata Indonesia, dengan low budget high impact pemerintah harus membuat strategi yang pada akhirnya memang high impact.

Semoga semua elemen – elemen pendukung pariwisata dapat berusaha dengan baik dalam memajukan Pariwisata. Dalam hal ini bukan hanya Jero Wacik dkk saja yang berkelut untuk membangun pariwisata Indonesia, akan tetapi juga perusahaan – perusahaan swasta dan masyarakat Indonesia .

Maju pariwisata Indonesia….remember that A brand, without character, is nothing…!!!


dwifungsi positif

December 4, 2009
Hebat, 750 Tentara Jadi Guru
Sejumlah prajurit TNI berbaris saat upacara pembukaan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Reguer ke-83, di Desa Godoriyo, Ngaliyan, Semarang, Jateng, Jumat (9/10). (ANTARA/R. Rekotomo)

Medan (ANTARA News) – Sebanyak 750 tentara yang bertugas di perbatasan Kalimantan Timur dengan Malaysia terpaksa diperbantukan menjadi guru karena tidak ada tenaga pengajar di 15 kecamatan yang merupakan daerah terisolir di provinsi tersebut.

“Di samping menjaga kedaulatan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) juga mengajar anak-anak karena kebanyakan penduduk di daerah terpencil tersebut pergi bekerja ke Malaysia,” kata ketua Badan Pengelolaan kawasan perbatasan Kaltim, Adri Paton, kepada ANTARA di Medan, Kamis.

Paton datang ke Medan sebagai narasumber dalam seminar yang diselenggarakan Departemen Komunikasi dan Informatika RI Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Medan.

Paton menjelaskan, kondisi masyarakat di kawasan perbatasan yang terisolir membuat mereka merasa lebih dekat dengan negara tetangga Malaysia dibandingkan negaranya sendiri.

Mereka lebih mudah mendapatkan fasilitas dan kebutuhan dari Malaysia, termasuk soal pendidikan dengan terpaksa belajar ke sekolah Malaysia karena fasilitas pendidikan tidak tersedia di daerahnya.

Bukan cuma itu, di kawasan perbatasan juga masyarakat hanya menikmati informasi dan berita dari media massa di negara tetangga sehingga mereka lebih mengenal Malaysia, ketimbang Indonesia.

“Kondisi seperti ini amat mengkhawatirkan karena bisa menggerus wawasan kebangsaan generasi muda di daerah perbatasan,” katanya.

Dia menjelaskan, dari tiga kabupaten di provinisi itu, 15 kecamatan terletak berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia dan 12 diantaranya adalah daerah tertinggal.